Semasa mahasiswa, aku tidak
pernah berpikir bahwa menjadi seorang
pembimbing mahasiswa tingkat akhir bisa sepenat ini. Dulu mengejar pembimbing
demi kata acc itu melelahkan, tapi
ternyata di kejar mahasiswa yang berburu tanda tangan itu lebih melelahkan.
Waktu istirahat pun harus rela diluangkan demi sang maha-siswa. Cukup hari ini,
aku hanya ingin me-refresh otakku
dari berbagai jenis penelitian itu. Tanpa berpikir panjang ku buka pintu
ruangan yang di depan pintu tergantung papan nama yang bertuliskan Peponi, merupakan bahasa swahili yang berarti
surga.
Ruangan kecil beraroma
lavender yang terdapat dari aroma pengharum ruangan yang terpajang di dinding
dekat sakelar lampu yang ingin ku nyalakan. Mungkin sekitar tiga atau empat
bulan ruangan ini tidak terjajah olehku. Aku merindukanmu, sangat. Kulangkahkan
kakiku menuju rak yang bertuliskan roman, menatap susunan buku-buku tua yang
berjajar rapi sesuai abjad dari judul buku. Seperti violin, novel roman adalah benda pelepas
penat terampuh kedua. Kuraih beberapa karya-karya roman klasik dari rak tua. Aku menuju sofa berwarna maroon
yang akan menggantikan ranjang empuk di kamar untuk menjadi sandaran
meregangkan badanku. ku ambil salah satu buku yang cukup usang, dapat di lihat
dari lipatan-lipatan tiap sudut buku yang lapuk akibat zaman. Aku tersenyum
sambil membuka halaman prakata dari buku tersebut. Elizabeth Bennet dan
Fitzwilliam Darcy, aku masih ingat dengan kedua tokoh ini, karya fenomenal sang
Jane Austen, Pride and Prejudice.
Roman abad 19 ini yang membuatku jatuh hati dengan sastra. Ku ambil smartphone dari saku kemeja ku dan
mengotak-atik aplikasi pemutar musik, mencari daftar musik klasik favoritku.
Beberapa detik kemudian irama violin
yang dimainkan oleh violinist asal Rusia
David Garrett mengalun lembut keseluruh Peponi.
Menggubah karya musik klasik air milik
JS.Bach dengan instrumen violin yang
modern, tetap klasik tetapi terdengar lebih modern dengan teknik vibra yang memukau. Kembali kutatap
karya sang Jane Austen yang ku acuhkan akibat terhipnotis dengan musik wajib
bagiku di kala penat melanda. Novel yang menarik, kubuka halaman yang
bertuliskan bab satu dan menikmati susunan kata demi kata, kalimat demi kalimat
yang menggambarkan secara sangat detail lingkungan dan tokoh yang terjadi di
dalam novel, itulah Jane Austen. Aku
tersenyum kagum dengan apa yang disuguhkan oleh Jane, pikiranku pun mulai liar
mengait-ngaitkan antara Jane dan Rowling. Teknik penulisan yang dituangkan
dalam Pride and Prejudice memiliki
detail penulisan yang mirip dengan karya Rowling, Harry Potter the series. Aku tertarik mencari tahu, kuambil smarthphone dan membuka aplikasi
internet. Mulai mengetik, penulis yang menginspirasi Rowling. Beberapa detik
kemudian nama Jane Austen benar terpampang
menjadi salah satu penulis yang menginspirasi Rowling dalam situs internet yang
sedang ku baca. Aku kembali tersenyum, ternyata Jane menginspirasi penulis
berbakat yang karyanya melegenda. Pride
and Pejudice dan Harry Potter sama-sama
memiliki detail penulisan yang mampu memikat pecinta novel di seluruh dunia dan
bahkan menjadi novel populer pada zamannya masing-masing.
Setelah membaca kurang lebih
10 halaman, konsentrasiku membuyar ketika aplikasi pemutar musik dalam smartphone ku berganti mengalunkan musik
klasik milik Pachelbell, Canon D. Konon katanya, Canon D merupakan musik klasik
yang menjadi pelopor berkembangnya musik pop modern. Aku juga belum tahu pasti,
mungkin karena alunan nada dalam Canon dimainkan secara berlang-ulang, karena
beberapa musik klasik yang aku dengar dari karya-karya sang maestro yang berbeda,
nadanya tidak berulang seperti nada pada Canon. Satu yang pasti bahwa musik
klasik memberi sumbangsi besar terhadap perkembangan musik di dunia. Sama
halnya dengan sastra, antara Jane dan Rowling.
Mataku tertuju pada buku
bercover hitam dengan judul The Great
Gatsby, novel yang bercerita mengenai obsesi Gatsby terhadap Daisy yang
berujung tragedi. F. Scott Fitzgerald menyajikan dengan mengangkat kasta sosial
pada zamannya. Ku buka lembaran awal, terdapat goresan pena cair membentuk
ukiran huruf indah AFS. Ukiran ini ditulis oleh cinta pertamaku, sang penakluk
hati bahkan sebelum aku lahir dan selamanya menempati posisi terindah di dalam
hatiku. Aku terbangun dari sofa maroon ku menuju sebuah meja belajar tua. Meja
itu di hiasi oleh bingkai-bingkai foto kecil, berbagai macam foto diriku dari
masih dipangkuan bunda hingga foto memakai toga ketiga ku. Ku buka laci meja
dan mengambil sebuah pena tua pemberian cinta pertamaku sebagai hadiah ulang
tahunku yang ke-17. Pena berwarna hitam pekat dengan corak emas dan ukiran itu
lagi AFS. ku buka tutup pena dan mengambil secarik kertas dan hendak mengukir inisial AFS,
tetapi tanganku terhenti, ternyata tinta pada pena berusia belasan tahun itu
sudah mengering. Aku memalingkan wajah kearah pintu yang menimbulkan bunyi "kretak" saat di buka perlahan. Di balik pintu Peponi ternyata tampak pria tua dengan kursi rodanya tersenyum ke arahku dengan membawa sebuah buku catatan miliknya. Betul. . . dia cinta pertamaku, pelindungku, maha-Guruku, dan orang yang memberikan inisial AFS di setiap buku yang ku beli. Beliau selalu berpesan "MENULISLAH" bahkan di usianya yang rentah beliau tetap menulis. Menulislah, karena setiap zaman memiliki khasnya sendiri.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar