Selasa, 29 Agustus 2017

Menafsirkan Zaman Melalui Sastra



Semasa mahasiswa, aku tidak pernah  berpikir bahwa menjadi seorang pembimbing mahasiswa tingkat akhir bisa sepenat ini. Dulu mengejar pembimbing demi kata acc itu melelahkan, tapi ternyata di kejar mahasiswa yang berburu tanda tangan itu lebih melelahkan. Waktu istirahat pun harus rela diluangkan demi sang maha-siswa. Cukup hari ini, aku hanya ingin me-refresh otakku dari berbagai jenis penelitian itu. Tanpa berpikir panjang ku buka pintu ruangan yang di depan pintu tergantung papan nama yang bertuliskan Peponi, merupakan bahasa swahili yang berarti surga.
Ruangan kecil beraroma lavender yang terdapat dari aroma pengharum ruangan yang terpajang di dinding dekat sakelar lampu yang ingin ku nyalakan. Mungkin sekitar tiga atau empat bulan ruangan ini tidak terjajah olehku. Aku merindukanmu, sangat. Kulangkahkan kakiku menuju rak yang bertuliskan roman, menatap susunan buku-buku tua yang berjajar rapi sesuai abjad dari judul buku. Seperti violin, novel roman adalah benda pelepas penat terampuh kedua. Kuraih beberapa karya-karya roman klasik dari rak tua. Aku menuju sofa berwarna maroon yang akan menggantikan ranjang empuk di kamar untuk menjadi sandaran meregangkan badanku. ku ambil salah satu buku yang cukup usang, dapat di lihat dari lipatan-lipatan tiap sudut buku yang lapuk akibat zaman. Aku tersenyum sambil membuka halaman prakata dari buku tersebut. Elizabeth Bennet dan Fitzwilliam Darcy, aku masih ingat dengan kedua tokoh ini, karya fenomenal sang Jane Austen, Pride and Prejudice. Roman abad 19 ini yang membuatku jatuh hati dengan sastra. Ku ambil smartphone dari saku kemeja ku dan mengotak-atik aplikasi pemutar musik, mencari daftar musik klasik favoritku. Beberapa detik kemudian irama violin yang dimainkan oleh violinist asal Rusia David Garrett mengalun lembut keseluruh Peponi. Menggubah karya musik klasik air milik JS.Bach dengan instrumen violin yang modern, tetap klasik tetapi terdengar lebih modern dengan teknik vibra yang memukau. Kembali kutatap karya sang Jane Austen yang ku acuhkan akibat terhipnotis dengan musik wajib bagiku di kala penat melanda. Novel yang menarik, kubuka halaman yang bertuliskan bab satu dan menikmati susunan kata demi kata, kalimat demi kalimat yang menggambarkan secara sangat detail lingkungan dan tokoh yang terjadi di dalam novel, itulah Jane Austen.  Aku tersenyum kagum dengan apa yang disuguhkan oleh Jane, pikiranku pun mulai liar mengait-ngaitkan antara Jane dan Rowling. Teknik penulisan yang dituangkan dalam Pride and Prejudice memiliki detail penulisan yang mirip dengan karya Rowling, Harry Potter the series. Aku tertarik mencari tahu, kuambil smarthphone dan membuka aplikasi internet. Mulai mengetik, penulis yang menginspirasi Rowling. Beberapa detik kemudian  nama Jane Austen benar terpampang menjadi salah satu penulis yang menginspirasi Rowling dalam situs internet yang sedang ku baca. Aku kembali tersenyum, ternyata Jane menginspirasi penulis berbakat yang karyanya melegenda. Pride and Pejudice dan Harry Potter sama-sama memiliki detail penulisan yang mampu memikat pecinta novel di seluruh dunia dan bahkan menjadi novel populer pada zamannya masing-masing.
Setelah membaca kurang lebih 10 halaman, konsentrasiku membuyar ketika aplikasi pemutar musik dalam smartphone ku berganti mengalunkan musik klasik milik Pachelbell, Canon D. Konon katanya, Canon D merupakan musik klasik yang menjadi pelopor berkembangnya musik pop modern. Aku juga belum tahu pasti, mungkin karena alunan nada dalam Canon dimainkan secara berlang-ulang, karena beberapa musik klasik yang aku dengar dari karya-karya sang maestro yang berbeda, nadanya tidak berulang seperti nada pada Canon. Satu yang pasti bahwa musik klasik memberi sumbangsi besar terhadap perkembangan musik di dunia. Sama halnya dengan sastra, antara Jane dan Rowling.
Mataku tertuju pada buku bercover hitam dengan judul The Great Gatsby, novel yang bercerita mengenai obsesi Gatsby terhadap Daisy yang berujung tragedi. F. Scott Fitzgerald menyajikan dengan mengangkat kasta sosial pada zamannya. Ku buka lembaran awal, terdapat goresan pena cair membentuk ukiran huruf indah AFS. Ukiran ini ditulis oleh cinta pertamaku, sang penakluk hati bahkan sebelum aku lahir dan selamanya menempati posisi terindah di dalam hatiku. Aku terbangun dari sofa maroon ku menuju sebuah meja belajar tua. Meja itu di hiasi oleh bingkai-bingkai foto kecil, berbagai macam foto diriku dari masih dipangkuan bunda hingga foto memakai toga ketiga ku. Ku buka laci meja dan mengambil sebuah pena tua pemberian cinta pertamaku sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-17. Pena berwarna hitam pekat dengan corak emas dan ukiran itu lagi AFS. ku buka tutup pena dan mengambil secarik  kertas dan hendak mengukir inisial AFS, tetapi tanganku terhenti, ternyata tinta pada pena berusia belasan tahun itu sudah mengering. Aku memalingkan wajah kearah pintu yang menimbulkan bunyi "kretak" saat di buka perlahan. Di balik pintu Peponi ternyata tampak pria tua dengan kursi rodanya tersenyum ke arahku dengan membawa sebuah buku catatan miliknya. Betul. . . dia cinta pertamaku, pelindungku, maha-Guruku, dan orang yang memberikan inisial AFS di setiap buku yang ku beli. Beliau selalu berpesan "MENULISLAH" bahkan di usianya yang rentah beliau tetap menulis. Menulislah, karena setiap zaman memiliki khasnya sendiri.

* * *

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar